Kisah Seorang Istri yang Tidak Pernah Dijamah


Saya ingat hari pertama pernikahan kami. saya dengan lingerie hijau toska meringkuk di ranjang pengantin sedemikian rupa sehingga terlihat menggoda. Bulu-bulu halus di tubuhku sudah saya babat habis agar nggak lagi menjadi penghalang antara kulitku & kulit suamiku. Sepuluh menit..dua puluh menit..tiga puluh menit..suamiku tak kunjung keluar dari kamar mandi. akibatnya pada malam pertama yang sakral itu saya malah tertidur pulas dengan posisi yang jauh dari kesan menggoda.

Aku juga ingat pada minggu pertama pernikahan kami. Kami nggak berbulan madu layaknya pasangan suami istri yang baru menikah. Sehari sesudah menikah, suamiku berangkat ke kantor seperti biasa. Alasannya, urusan kantor sedang sibuk-sibuknya & nggak dapat ditinggalkan. Sedangkan saya setelah sah menjadi 100% Ibu Rumah Tangga.

Meninggalkan karirku yaitu sesuatu yang berat bagiku, tapi permintaan suamiku sebelum kami menikah terpaksa saya iyakan. selagi itu anganku dibawanya tinggi. Empat orang anak, sebuah rumah besar dengan halaman luas, mobil, & uang belanja yang jauh lebih besar dari gajiku. Alasanku buat terus berkarir seperti menguap begitu saja.

Setiap hari saya menjalankan peranku selaku istri dengan sempurna. Bangun lebih awal dari suamiku, menyediakan sarapan & keperluannya ke kantor. Selalu menjaga kerapihan rumah sebab suamiku akan marah-marah jika melihat rumah kami berantakan. menyediakan makan malam sebelum suamiku pulang kantor. Hal terakhir yang nggak boleh terlupakan, buat tampil rapih & wangi selagi menyambut suamiku pulang. Wajahnya akan berubah ketus jika melihatku dengan daster & wajah berminyak & mencium bau keringatku. Dalam minggu pertama, saya telah hapal dengan ritualku sehari-hari.

Suamiku seringnya pulang jam sembilan malam. sesudah makan malam, biasanya suamiku akan berselonjor di sofa di depan TV. Sedangkan saya menantikan dengan cemas apakah malam tersebut akan berlalu bagaikan malam-malam sebelumnya. Jam sebelas..jam dua belas..aku setelah mulai mengantuk. saya menunggunya di kamar tidur kami, mencoba tetap terjaga sampai dia pulang.

Tapi selalu gagal, sehingga saat saya terbangun saya sadar saya setelah melewatkan lagi kesempatan ‘malam pertama’ kami yang setelah tertunda selama hampir seminggu. Pada malam keenam, saya berhasil melawan rasa kantuk sampai akibatnya suamiku masuk ke kamar kami. Jam satu malam. saya ingat suamiku berusaha menyembunyikan keterkejutannya selagi mengetahui bahwa saya belum tertidur. saya telah berancang-ancang dengan posisi menggoda andalanku. Tapi tanpa menoleh sedikit pun suamiku beranjak ke kamar kerjanya, “Ada tugas kantor yang wajib diselesaikan”. Gagal lagi.


Masih juga dapat kuingat bulan pertama pernikahan kami. saya semakin mengenal tabiat suamiku. beliau nggak suka perhatianku yang melimpah. beliau seperti nggak ikhlas selagi menerima kecupan mesraku mengantar kepergiannya ke kantor. jika saya bertanya jam berapa beliau akan pulang, jawabannya cuma senyum ketus. dari kejadian malam keenam, suamiku pulang lebih larut malam & nggak menentu.

Kadang-kadang jam sepuluh malam, sering juga sampai tengah malam. beliau juga lebih suka menghabiskan akhir pekan di luar rumah. Beberapa kali beliau mengajakku berlibur ke tempat-tempat wisata, menginap di hotel-hotel mewah, makan di restoran-restoran mahal, namun selalu diakhiri dengan malam di ranjang yang dingin. nggak jarang beliau membanjiriku dengan pujian di depan teman-temanku, teman-temannya, & kerabat famili kami. nggak sedikit hadiah-hadiah kejutan yang beliau belikan untukku. Namun nggak satu pun sejak semua itu yang kemudian membawa kami pada malam yang indah.
——————————————————————————————————————————————
Pada bulan keenam pernikahan kami, saya & suamiku bertengkar mulut buat pertama kalinya. boleh jadi perempuan beda akan lebih cepat bereaksi dari pada saya yang terlalu berhati-hati menjaga perasaan suami. saya timbang-timbang, ini dia timing yang akurat buat mengutarakan isi hatiku. Enam bulan setelah sangat cukup buat membuktikan saya istri yang penyabar & pengertian. Malam itu, persis setengah tahun pernikahan kami.

Aku berusaha bicara seringan boleh jadi selagi kami sedang makan malam. Bahwa nggak terasa setelah enam bulan kami hidup bersama. Bahwa begitu cepat hari berganti hari, bulan berganti bulan. Suamiku cuma mengangguk-angguk sambil terus menikmati makanannya. Tak lagi peduli dengan nilai diriku, sekonyong-konyong saya melontarkan pertanyaan yang selama tersebut mengendap di benakku, “ Apa Mas nggak tertarik buat berinteraksi seks denganku?”.

Seketika itu juga suamiku yang tadinya nggak mengacuhkan arah pembicaraanku, menghujamkan tatapannya yang merendahkan ke wajahku. Tak lagi berselera dengan santapan malam itu, sama sekali nggak berusaha buat menjawab pertanyaanku, suamiku bangkit berdiri & bagaikan nggak jelas dengan apa yang mau dilakukannya. saya setelah terlanjur mengangkat masalah tersebut ke permukaan, maka saya bertekad nggak akan membiarkan ketidakjelasan tersebut terus berlanjut. Kuikuti suamiku yang berusaha menghindar menuju ke kamar kerjanya.

“Apa Mas nggak pernah berpikir bahwa suatu selagi saya akan menanyakan hal ini?”
“Apa Mas cuma menganggap saya selaku Pembantu Rumah Tangga saja, yang cuma berfungsi buat mengurus rumah, keperluan Mas sehari-hari, tapi nggak lebih sejak itu?”
“Apa Mas menikahiku cuma buat mendapatkan status saja, selaku seorang suami?”
Tamparan tajam mendarat di pipi kananku. saya jatuh terduduk, bukan sebab kerasnya pukulan barusan, tapi sebab energi yang lalu begitu besar tiba-tiba habis tersedot oleh amarahku sendiri. Melihatku setelah tak berdaya, suamiku mengeluarkan agresi balik.
“Lantas anda maunya apa, hah?”
“Kamu pikir saya gak mampu melayanimu di ranjang, hah?”
“Apa diotakmu yang namanya pernikahan cuma sebatas seks saja, hah?”
Aku cuma dapat terisak-isak tetap duduk di lantai tempat saya terjatuh. Entah setan apa yang merasuki suamiku, selagi itu beliau menarik saya berdiri. Menyeretku ke kamar tidur kami. Mendorongku jatuh ke ranjang.

“Buka bajumu! Atau perlu saya yang membukakan?!”, gertakan suamiku keras & mengerikan. Dalam satu gerakan beliau setelah menelanjangi dirinya sendiri. Sedangkan saya cuma dapat terpaku, nggak menentu apa yang wajib kulakukan. Haruskah saya membuka bajuku & melayani suamiku bagaikan yang saya inginkan selama ini? Tamparan tadi, gertakan suamiku, & kemarahanku menahan keinginanku buat menjalan tugasku selaku seorang istri yang patuh & berbakti. “Aku nggak mau melakukannya dengan terpaksa bagaikan ini”. Malam itu kami tidur di kamar yang berbeda.

Seminggu sesudah kejadian itu, amarah kami mulai mereda. Hari-hari berjalan bagaikan biasa. saya tetap menjalankan tugasku mengurus keperluan rumah tangga walaupun dalam diam. nggak ada sapaan hangat atau kecupan mesra selagi suamiku berangkat maupun pulang kerja. saya menjalani semua itu dengan ketidakyakinan akan masa depan kami. Apakah akan datang saatnya yang mana rumah tersebut nggak cuma dihuni oleh kami berdua? Sampai kapan kami dapat bertahan selaku suami istri bagaikan ini? Apakah kami bahagia?

Tepatnya dua minggu sesudah pertengkaran kami, suamiku masuk ke kamar tidur lebih awal. saya baru saja bersiap-siap tidur. Suamiku nggak mematikan lampu kamar bagaikan biasanya, malahan menyetel lagu lembut sejak DVD player di kamar kami. saya terus mengikuti gerak-geriknya, sampai tiba-tiba ciuman mesra mendarat di pipiku. Diteruskan ke bibirku, ke leherku. saya ingat saya kaku bagaikan mayat selagi itu, cuma mengikuti kehendak suamiku. ‘Malam pertama’ kami akibatnya terlaksana dengan penuh tanda tanya.
——————————————————————————————————————————————
Sejak malam itu, saya bagaikan gadis perawan yang sedang jatuh cinta. saya tersipu-sipu kalau bertatapan mata dengan suamiku. saya semakin perhatian terhadap suamiku, yang ditanggapi acuh tak acuh bagaikan biasa. saya gelisah kalau suamiku pulang terlambat, & sama gelisahnya ketika suamiku pulang lebih awal. saya rela menantikan sambil terkantuk-kantuk di tempat tidur, walaupun seringkali kecewa selagi suamiku memilih buat langsung tidur.

Aku nggak pernah mengharapkan interaksi seks yang liar. saya wanita Asia sejak keluarga kolot yang selalu diajarkan buat bersikap pasif di depan suami. Suamiku dengan wataknya yang dingin selalu menjalankan ritual keintiman kami dengan fase-fase yang monoton. Foreplay secukupnya, membiarkan saya menyentuh orgasme lebih dulu, kemudian menyudahinya tanpa pernah membiarkan dirinya terpuaskan. Awalnya saya pikir wajar saja.

Tapi sesudah berlangsung bulan demi bulan, saya mulai bertanya-tanya kembali. Apakah tersebut sekedar upaya suamiku supaya saya nggak lagi protes? sebelumnya buat apa semua ini? buat apa menjalani rumah tangga bagaikan ini? Tidakkah suamiku menginginkan buah hati bagaikan yang pernah dikatakannya dulu selagi melamarku?
Lalu pada malam tahun pertama pernikahan kami, malam yang seharusnya membahagiakan bagi pasangan muda, kami bertengkar buat yang kedua kalinya.
——————————————————————————————————————————————
Sejak pertengkaran hebat malam itu, saya nggak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah kami. Malam itu juga saya pergi meninggalkan suamiku. Meninggalkan adat yang mengharuskan istri patuh kepada suami. Meninggalkan harapan-harapanku terkubur di rumah itu. Bagiku setelah nggak jelas lagi paparan seorang istri yang berbakti.

Sejak selagi itu pula, saya tinggal di rumah peninggalan orangtuaku yang setelah lama kosong. dari ibuku wafat lima tahun yang lalu, saya meninggalkan rumah tersebut kosong dengan meminta donasi seorang kerabat buat menengoknya sesekali. Sedangkan saya tinggal di rumah pamanku bersama istrinya & anak-anak mereka di kota beda yang mana saya melanjutkan pendidikanku sampai mendapat gelar sarjana. Di kota tersebut pula saya berkenalan dengan suamiku, seorang teman sejak temanku.

Tampan, berpendidikan baik, berkedudukan tinggi di kantornya, & berasal sejak keluarga yang terhormat. Usianya 35 tahun selagi berkenalan denganku, sedangkan saya baru 25 tahun. cuma dalam waktu dua bulan, beliau setelah mulai menyatakan keseriusannya denganku. Keluarga pamanku sangat mendukung hubunganku dengannya yang terlihat begitu santun di depan mereka.

Sedangkan keluarga suamiku nggak segan-segan langsung meminta persetujuan pamanku selaku waliku buat menikahiku dengan anak kesayangan mereka. selagi itu saya nggak menyempatkan diriku bertanya ke dalam hatiku sendiri, apakah saya mau menikahinya sebab mencintainya, ataukah cuma sebab kelebihan-kelebihannya? Semua berjalan begitu cepat, sampai-sampai saya pun terlupa menanyakan satu pertanyaan yang paling penting, “Apakah beliau mencintaiku?”
——————————————————————————————————————————————
Aku masih ingat minggu pertama dari saya meninggalkan rumah suamiku. saya cuma tinggal sendirian. nggak ada yang tahu saya tinggal di sini, bahkan keluarga pamanku. Kepada kerabat yang biasanya datang membersihkan rumah tersebut kukatakan saya sedang berlibur beberapa minggu. saya benar-benar mengucilkan diriku sendiri.

Tidak keluar rumah sama sekali. Makan seadanya. nggak mandi, nggak juga mengganti pakaianku. Kerjaanku cuma meringkuk di tempat tidur, kemudian tertidur beberapa jam, terbangun, kemudian tertidur lagi. Entah apa yang ada dipikiranku. Kadang-kadang saya berpikir mengenai betapa bencinya saya pada suamiku, terkadang merasa kasihan terhadapnya. Tapi pernahkah ia merasa kasihan terhadapku?

Aku juga masih dapat ingat minggu-minggu berikutnya sejak kehidupan nerakaku. Pikiranku semakin nggak karuan. saya semakin nggak mengenal waktu. Kapan Senin, kapan Minggu. Kapan pagi, kapan siang. Pernahkah suamiku berusaha menghubungiku? Mencariku ke rumah ini? Patutkah saya meneleponnya? yang mana handphone-ku? Ruang setelah tak jelas juga bagiku.
Apakah suamiku masih peduli denganku? Apakah beliau pernah mencintaiku? Apakah saya pernah mencintainya? Kenapa saya merindukannya tapi juga membencinya? saya menangis, tapi anehnya saya juga tertawa-tawa. Apa yang salah denganku?
——————————————————————————————————————————————
Entah setelah minggu keberapa dari malam itu, selagi saya menyaksikan kejadian yang membawaku ke dalam penderitaan ini. Malam itu, malam tahun pertama pernikahan kami. saya bermaksud menjadikan kejutan buat suamiku di kantornya. Berbekal kue tart buatanku, dengan dandanan sedikit istimewa, saya nekat datang ke kantornya yang boleh jadi justru akan menjadikan suamiku jengkel. saya lihat sekretarisnya, seorang pemuda yang tampan & seumuran denganku, sedang nggak di mejanya. boleh jadi beliau sedang di dalam ruangan suamiku buat mendiskusikan sesuatu. Apakah sebaiknya saya menunggu? Ah, biar saja. saya kan bermaksud memberikan kejutan.

Tapi kejutan itu ternyata bukan buat suamiku, melainkan untukku. Di ruangan itu, di hari istimewa itu, saya melihat suamiku & sekretarisnya yang tampan itu sedang hanyut dalam ciuman yang begitu panas. Apakah saya bermimpi? Suamiku sedang menikmati percintaannya dengan kekasih gelapnya selama ini.

Bukankah hal tersebut hanya sekedar cerita murahan di novel-novel yang suka saya baca? Tapi kenapa hal tersebut dapat terjadi padaku? Suamiku seorang Gay. Suamiku lebih mencintai lelaki itu daripada istrinya sendiri, aku. Aku..aku..sudah nggak dapat membedakan antara mimpi & kenyataan. Apakah itu cuma mimpiku saja? saya berharap itu cuma mimpi saja.

Tapi bukankah saya seharusnya di rumah bersama suamiku serta menjalankan tugasku selaku seorang istri. 
Terima kasih telah membaca artikel tentang Kisah Seorang Istri yang Tidak Pernah Dijamah di blog Yang Terselubung jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :

Rekomendasi Berita Lainnya close button